TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK
INDONESIA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Perusahaan pemberi pekerjaan adalah perusahaan yang menyerahkan
sebagian pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan penerima pemborongan atau
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
2. Perusahaan penerima pemborongan adalah perusahaan yang berbentuk
badan hukum yang memenuhi syarat untuk menerima pelaksanaan sebagian pekerjaan
dari perusahaan pemberi pekerjaan.
3. Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh adalah perusahaan yang
berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas (PT) yang memenuhi syarat untuk
melaksanakan kegiatan jasa penunjang perusahaan pemberi pekerjaan.
4. Perjanjian pemborongan pekerjaan adalah perjanjian antara
perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penerima pemborongan yang memuat
hak dan kewajiban para pihak.
5. Perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh adalah perjanjian
antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh yang memuat hak dan kewajiban para pihak.
6. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja pada perusahaan
penerima pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang menerima
upah atau imbalan dalam bentuk lain.
7. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara perusahaan penerima
pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruh di
perusahaan penerima pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak.
8. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
Pasal 2
Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain
dapat dilakukan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian
penyediaan jasa pekerja/buruh.
BAB II
PEMBORONGAN PEKERJAAN
Bagian Kesatu
Persyaratan Pemborongan Pekerjaan
Pasal 3
(1) Perusahaan pemberi pekerjaan dapat menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan penerima pemborongan.
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penerima
pemborongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama baik manajemen
maupun kegiatan pelaksanaan pekerjaan;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari
pemberi pekerjaan, dimaksudkan untuk memberi penjelasan tentang cara
melaksanakan pekerjaan agar sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh
perusahaan pemberi pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan,
artinya kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang mendukung dan memperlancar
pelaksanaan kegiatan utama sesuai dengan alur kegiatan proses pelaksanaan
pekerjaan yang ditetapkan oleh asosiasi sektor usaha yang dibentuk sesuai
peraturan perundang-undangan.
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung, artinya
kegiatan tersebut merupakan kegiatan tambahan yang apabila tidak dilakukan oleh
perusahaan pemberi pekerjaan, proses pelaksanaan pekerjaan tetap berjalan
sebagaimana mestinya.
Pasal 4
(1) Asosiasi sektor usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(2) huruf c harus membuat alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan sesuai
sektor usaha masing-masing.
(2) Alur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menggambarkan
proses pelaksanaan pekerjaan dari awal sampai akhir serta memuat kegiatan utama
dan kegiatan penunjang dengan memperhatikan persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2).
(3) Alur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipergunakan sebagai
dasar bagi perusahaan pemberi pekerjaan dalam penyerahan sebagian pelaksanaan
pekerjaan melalui pemborongan pekerjaan.
Pasal 5
Jenis pekerjaan penunjang yang akan diserahkan kepada perusahaan
penerima pemborongan harus dilaporkan oleh perusahaan pemberi pekerjaan kepada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat
pemborongan pekerjaan dilaksanakan.
Pasal 6
Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 mengeluarkan bukti pelaporan
jenis pekerjaan penunjang yang akan diserahkan melalui pemborongan pekerjaan
paling lambat 1 (satu) minggu sejak pelaporan dilaksanakan oleh perusahaan
pemberi pekerjaan.
Pasal 7
(1) Perusahaan pemberi pekerjaan dilarang menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan penerima pemborongan apabila belum
memiliki bukti pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
(2) Apabila perusahaan pemberi pekerjaan menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan penerima pemborongan sebelum memiliki
bukti pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, maka hubungan kerja antara
pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih kepada perusahaan
pemberi pekerjaan.
Pasal 8
Perusahaan pemberi pekerjaan harus melaporkan secara tertulis
setiap perubahan jenis pekerjaan penunjang yang akan diserahkan melalui
pemborongan pekerjaan, kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pemborongan pekerjaan dilaksanakan dengan
tetap memperhatikan proses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
Bagian Kedua
Perjanjian Pemborongan Pekerjaan
Pasal 9
(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan
secara tertulis.
(2) Perjanjian pemborongan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sekurang-kurangnya harus memuat:
a. hak dan kewajiban masing-masing pihak;
b. menjamin terpenuhinya perlindungan kerja dan syarat-syarat
kerja bagi pekerja/buruh sesuai peraturan perundang-undangan; dan
c. memiliki tenaga kerja yang mempunyai kompetensi di bidangnya.
Pasal 10
(1) Perjanjian pemborongan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 harus didaftarkan oleh perusahaan penerima pemborongan kepada instansi
yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat
pemborongan pekerjaan dilaksanakan.
(2) Pendaftaran perjanjian pemborongan pekerjaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah perjanjian tersebut ditandatangani
oleh perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penerima pemborongan,
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum pekerjaan dilaksanakan.
Pasal 11
Dalam hal perjanjian pemborongan pekerjaan telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10, maka instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerjaan
dilaksanakan menerbitkan bukti pendaftaran paling lambat 5 (lima) hari kerja
sejak berkas permohonan pendaftaran perjanjian diterima.
Bagian Ketiga
Persyaratan Perusahaan Penerima Pemborongan
Pasal 12
Perusahaan penerima pemborongan harus memenuhi persyaratan:
a. berbentuk badan hukum;
b. memiliki tanda daftar perusahaan;
c. memiliki izin usaha; dan
d. memiliki bukti wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan.
Bagian Keempat
Perjanjian Kerja Pemborongan Pekerjaan
Pasal 13
Setiap perjanjian kerja dalam pemborongan pekerjaan wajib memuat
ketentuan yang menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 14
Perjanjian kerja dalam pemborongan pekerjaan mengatur tentang
hubungan kerja antara perusahaan penerima pemborongan dengan pekerja/buruhnya
yang dibuat secara tertulis.
Pasal 15
Hubungan kerja antara perusahaan penerima pemborongan dengan
pekerja/buruhnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dapat didasarkan atas
perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu.
Pasal 16
Pelaporan jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan
pendaftaran perjanjian pemborongan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 tidak dikenakan biaya.
BAB III
PENYEDIAAN JASA PEKERJA/BURUH
Bagian Kesatu
Persyaratan Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh
Pasal 17
(1) Perusahaan pemberi pekerjaan dapat menyerahkan
sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
melalui perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus merupakan kegiatan
jasa penunjang atau yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
(3) Kegiatan jasa penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi:
a. usaha pelayanan kebersihan (cleaning service);
b. usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering);
c. usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan);
d. usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan; dan
e. usaha penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh.
Pasal 18
Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dilarang menyerahkan
pelaksanaan sebagian atau seluruh pekerjaan yang diperjanjikan kepada
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh lain.
Bagian Kedua
Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh
Pasal 19
Perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a. jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
b. penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bersedia
menerima pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya
untuk jenis pekerjaan yang terus menerus ada di perusahaan pemberi pekerjaan
dalam hal terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
c. hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya berdasarkan perjanjian kerja waktu
tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu.
Pasal 20
(1) Perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh antara perusahaan
pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh harus
didaftarkan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan.
(2) Pendaftaran perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak ditandatangani dengan melampirkan:
a. izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang
masih berlaku; dan
b. draft perjanjian kerja antara perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya.
(3) Pendaftaran perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan biaya.
Pasal 21
(1) Dalam hal perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh telah
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 20, maka
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat
pekerjaan dilaksanakan menerbitkan bukti pendaftaran paling lambat 7 (tujuh)
hari kerja sejak berkas permohonan pendaftaran perjanjian diterima.
(2) Dalam hal perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh tidak
sesuai dengan ketentuan sebagaimana pada ayat (1), maka pejabat yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota dapat menolak
permohonan pendaftaran dengan memberi alasan penolakan.
Pasal 22
Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak dapat melakukan
operasional pekerjaannya sebelum mendapatkan bukti pendaftaran perjanjian
penyediaan jasa pekerja/buruh dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan.
Pasal 23
(1) Dalam hal perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh tidak
didaftarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh tetap melaksanakan pekerjaan, maka instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi mencabut izin operasional berdasarkan
rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.
(2) Dalam hal izin operasional perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh dicabut, pemenuhan hak-hak pekerja/buruh tetap menjadi tanggung
jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang bersangkutan.
Bagian Ketiga
Persyaratan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh.
Pasal 24
Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh harus memenuhi persyaratan:
a. berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas (PT) yang didirikan
berdasarkan peraturan perundang-undangan;
b. memiliki tanda daftar perusahaan;
c. memiliki izin usaha;
d. memiliki bukti wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan;
e. memiliki izin operasional;
f. mempunyai kantor dan alamat tetap; dan
g. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama perusahaan.
Pasal 25
(1) Izin operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf e
diajukan permohonannya oleh perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh kepada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi tempat
pelaksanaan pekerjaan, dengan melampirkan:
a. copy anggaran dasar yang didalamnya memuat kegiatan usaha
penyediaan jasa pekerja/buruh;
b. copy pengesahan sebagai badan hukum Perseroan Terbatas (PT);
c. copy surat ijin usaha penyediaan jasa pekerja/buruh;
d. copy tanda daftar perusahaan;
e. copy bukti wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan;
f. copy pernyataan
kepemilikan kantor atau bukti penyewaan kantor yang ditandatangani oleh
pimpinan perusahaan; dan
g. copy Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama perusahaan.
(2) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menerbitkan izin operasional
terhadap permohonan yang telah memenuhi persyaratan dalam waktu paling lambat
14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan diterima.
(3) Izin operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku di
seluruh kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan.
Pasal 26
(1) Izin operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 berlaku
untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu
yang sama.
(2) Perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan
berdasarkan persyaratan yang diatur dalam Peraturan Menteri ini dan hasil
evaluasi kinerja perusahaan yang dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.
(3) Berdasarkan hasil evaluasi kinerja perusahaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan provinsi menyetujui atau menolak.
Bagian Keempat
Perjanjian Kerja Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh
Pasal 27
(1) Setiap perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh wajib membuat
perjanjian kerja secara tertulis dengan pekerja/buruh.
(2) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dicatatkan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan.
(3) Dalam hal perjanjian kerja tidak dicatatkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), maka instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan provinsi mencabut izin operasional berdasarkan rekomendasi dari
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.
(4) Pencatatan perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak dikenakan biaya.
Pasal 28
Setiap perjanjian kerja penyediaan jasa pekerja/buruh wajib memuat
ketentuan yang menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 29
(1) Hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
dengan pekerja/buruhnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dapat didasarkan
atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu
tertentu.
(2) Dalam hal hubungan kerja didasarkan atas perjanjian kerja
waktu tertentu yang objek kerjanya tetap ada sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), sekurang-kurangnya harus memuat:
a. jaminan kelangsungan bekerja;
b. jaminan terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan yang diperjanjikan.
c. jaminan perhitungan masa kerja apabila terjadi pergantian
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh untuk menetapkan upah.
(3) Hak-hak pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
b meliputi:
a. hak atas cuti apabila telah memenuhi syarat masa kerja.
b. hak atas jaminan social.
c. hak atas tunjangan hari raya.
d. hak istirahat paling singkat 1 (satu) hari dalam 1 (satu)
minggu.
e. hak menerima ganti rugi dalam hal hubungan kerja diakhiri oleh
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelum perjanjian kerja waktu tertentu
berakhir bukan karena kesalahan pekerja.
f. hak atas penyesuaian upah yang diperhitungkan dari akumulasi
masa kerja yang telah dilalui.
g. hak-hak lain yang telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan dan/atau perjanjian kerja sebelumnya.
Pasal 30
Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu tidak memuat ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan Pasal 29, maka hubungan kerja antara
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruh berubah menjadi
hubungan kerja yang didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu sejak
ditandatanganinya perjanjian kerja yang tidak memenuhi persyaratan.
Pasal 31
Dalam hal pekerja/buruh tidak memperoleh jaminan kelangsungan
bekerja, maka pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan
Industrial.
Pasal 32
(1) Dalam hal perusahaan pemberi pekerjaan tidak melanjutkan
perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh dan mengalihkan pekerjaan penyediaan
jasa pekerja/buruh kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang baru,
maka perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang baru, harus melanjutkan
perjanjian kerja yang telah ada sebelumnya tanpa mengurangi ketentuan yang ada
dalam perjanjian kerja yang telah disepakati.
(2) Dalam hal terjadi pengalihan pekerjaan kepada perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh yang baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka
masa kerja yang telah dilalui para pekerja/buruh pada perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh yang lama harus tetap dianggap ada dan diperhitungkan oleh
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang baru.
BAB IV
PENGAWASAN
Pasal 33
Pengawasan pelaksanaan peraturan ini dilakukan oleh Pengawas
Ketenagakerjaan.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 34
(1) Setiap perusahaan pemberi pekerjaan, perusahaan penerima
pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh wajib menyesuaikan
dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini paling lama 12 (dua belas) bulan
sejak diundangkannya Peraturan Menteri ini.
(2) Dalam hal perusahaan penerima pemborongan pekerjaan atau
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak menyesuaikan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka perusahaan penerima pemborongan
pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tetap bertanggung jawab
terhadap hak-hak pekerja/buruh sesuai perjanjian kerja.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara
Perijinan Penyediaan Jasa Pekerja/buruh dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor KEP.220/MEN/X/2004 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 36
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Sumber : http://www.depnakertrans.go.id/uploads/doc/perundangan/194328070350ab0fa438f1a.pdf